Sabtu, 04 April 2009

UN: Biarkan Siswa Belajar Dari KegagalanOleh Maksimus Adil

UN: Biarkan Siswa Belajar Dari KegagalanOleh Maksimus Adil
Polemik seputar hasil UN tahun 2006 ini membangkitkan kembali kepedihan yang pernah penulis rasakan tahun lalu, ketika seorang adik yang saya biayayi sekolahnya selama 3 tahun dari kekurangan dinyatakan tidak lulus. Kepedihan itu terasa menusuk dalam karena yang bersangkutan selalu masuk ranking dua besar sejak kelas I. Beliau termasuk anak yang tekun belajar. Setiap waktu kosong dimanfaatkannya untuk membaca. Dia juga bukan tipe anak yang sombong dengan pencapaiannya di kelas. Karena kepribadiannya yang baik, banyak teman sekelasnya datang ke rumah untuk belajar bersama. Dia selalu menjadi mentor yang membantu teman-temannya dalam studi kelompok itu. Hampir semua teman belajar kelompoknya lulus ujian, sementara adik saya yang telah menjadi mentor mereka tidak lulus. Teman-teman belajarnya terkejut ketika mengetahui bahwa mentor mereka yang langganan juara kelas itu gagal lulus dalam kesempatan pertama. Untungnya, tahun lalu ada ujian perbaikan, sehingga akhirnya dia bisa lulus juga.
Pada tahun ini hal yang sama terjadi lagi. Banyak anak yang cerdas tidak lulus. Celakanya, pemerintah jauh-jauh hari sebelumnya telah menyatakan bahwa tidak ada UN perbaikan. Maka kalau tidak lulus UN berarti harus ulang pada tahun berikutnya untuk mendapatkan ijasah SMU. Inilah alasan utama mengapa ada demo di mana-mana.Para siswa yang gagal lulus beserta orang tuanya mencoba lobi ke mana-mana agar diberi kesempatan untuk ujian perbaikan. Rupanya waktu satu tahun tambahan untuk menunggu kesempatan ujian berikutnya terlalu lama dan mahal, maka segala upaya dilakukan agar pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, mengubah keputusannya dan memberi kesempatan untuk UN perbaikan.
Argumentasi Penolakan UN
Menarik untuk disimak komentar banyak pihak berkaitan dengan UN ini. Paling tidak ada 3 argumentasi menolak UN yang menggelitik. Pertama, yang mengatakan bahwa kegagalan dalam satu pelajaran saja telah membuat kerja keras siswa, orang tua, dan guru selama 3 tahun menjadi sia-sia dan tidak dihargai. Kedua, yang mengatakan bahwa UN tidak bisa diterima sebagai faktor penentu kelulusan karena yang mengetahui dengan baik keadaan murid adalah para guru, jadi seharusnya gurulah yang tepat untuk menentu kelulusan siswa. Ketiga, yang mengatakan bahwa UN yang menekankan keseragaman merupakan bukti ketidak-adilan yang diterapkan pemerintah, karena tidak memperhitungkan kondisi yang berbeda-beda yang dialami oleh berbagai sekolah di seluruh tanah air.
Argumentasi-argumentasi di atas semuanya benar, tetapi juga ada keliruya. Argumentasi pertama mengandaikan bahwa selama 3 tahun di bangku sekolah menengah semua siswa, guru dan orang tua murid telah sama-sama bekerja keras. Dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Sebagai tenaga pendidik, penulis mengetahui dengan benar bahwa tidak sedikit anak didik yang memang tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Datang ke sekolah hanya sekedar untuk menyetor muka. Pikirannya tidak dibawa serta ke sekolah, entah ditinggalkan di mana. Sementara orang tua murid juga banyak yang tidak peduli dengan perkembangan anaknya di sekolah. Mereka tidak mau tau apa anaknya belajar atau tidak. Yang penting saya mencari banyak uang, memasukkan anak saya di sekolah unggulan, dan membayar kewajiban bulanan saya ke sekolah. Seolah-olah tanggu jawabnya hanya sebatas itu dan sisanya urusan guru.
Argumentasi kedua juga benar. Guru mengetahui dengan baik keadaan siswanya. Tetapi kalau tugas untuk menentukan kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada para guru, maka akan muncul bahaya lainnya. Guru bisa menjadi ‘raja-raja’ kecil di sekolah. Mereka – sebagai manusia biasa – bisa berlaku tidak adil atau bahkan bisa dimanfaatkan oleh sebagian murid yang mampu, entah dengan menyogok atau tindakan tidak terpuji lainnya. Kualitas kelulusan juga tidak bisa terjamin karena perbedaan sumber daya guru di berbagai daerah. Guru juga – dengan system itu – bisa tidak terpacu untuk terus meningkatkan kualitas dirinya.
Argumentasi ketiga benar adanya. Apalagi kalau tim penyusun soal UN bukan orang yang terjun ke lapangan dan memahami kondisi pendidikan di berbagai daerah. Mereka bisa saja menyusun soal yang bahkan di daerah tertentu diIndonesia ini, karena keterbatasan yang ada, belum diajarkan. Maka anak didik pasti sangat dirugikan. Di sinilah dibutuhkan kerja keras dari pihak Diknas untuk benar-benar memantau kondisi di lapangan dan terus giat untuk memperbaiki kekurangan yang ada, agar mutu pendidikan di seluruh tanah air bisa benar-benar merata.
Belajar dari Kegagalan
Kita tetap memerlukan suatu system yang memadai untuk mengukur kualitas pendidikan kita. Salah satunya adalah ujian yang berskala nasional. Kalau UN yang sekarang belum memadai, seyogyanya untuk diperbaiki agar lebih terjamin validitasnya.
Kendati demikian, kegagalan yang dialami beberapa siswa yang berprestasi tidak perlu menjadi dasar argumentasi untuk menilai bahwa UN yang baru lalu tidak dapat diterima sebagai salah satu factor untuk menentukan kelulusan siswa. Kegagalan adalah bagian integral dari hidup manusia. Siapa pun pasti akan pernah mengalami kegagalan. Dari pengalaman kita belajar bahwa ternyata kerja keras atau kecerdasan saja tidak cukup untuk menggapai kesuksesan. Sikap percaya diri berlebihan dan cenderung menganggap remeh bisa membawa bumerang bagi kita. Dan bukan tidak mungkin sikap itu yang menyebabkan beberapa siswa berprestasi gagal dalam UN kali ini. Mereka terlena karena sudah diterima di universitas ternama dan bahkan mendapat beasiswa ke luar negeri, tetapi mereka lupa bahwa mereka masih harus belajar keras supaya bisa lulus UN. Adik saya yang gagal lulus tahun lalu pun saya kira jatuh pada kesalahan itu.
Diharapkan kegagalan yang mereka alami sekarang bisa membantu mereka untuk lebih baik di kemudian hari dan membuka mata mereka bahwa inilah hidup. Kelalaian kecil saja bisa membawa celaka, penyesalan yang dalam dan kehilangan banyak kesempatan. Anak-anak yang kali ini gagal dalam UN diharapkan dapat belajar bahwa konsistensi, baik dalam hal kerja keras, ketekunan, keterbukaan, dan hormat yang tinggi terhadap belajar itu sendiri sangat diperlukan dalam hidup ini. Kemampuan untuk melihat makna dibalik kegagalan adalah bagian dari sukses pendidikan di sekolah dan itu adalah sekolah itu sendiri, sekolah kehidupan.
Di sini kita melihat bahwa urusan pendidikan bukan urusan yang mudah. Jangan pernah melihat masalah pendidikan secara linier saja, kalau P maka Q. Ada berbagai aspek yang mesti diperhitungkan ketika kita mempersoalkan sesuatu, apalagi yang berkaitan dengan pendidikan. Dan kita berharap, Depdiknas sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap masalah pendidikan di tanah air terus berbenah diri untuk dapat menghasilkan system penentuan standard yang memadai dan diterima oleh banyak pihak

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright by sinau  |  Template by Blogspot tutorial